Rabu, 21 November 2018

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI


Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas. Pengaturan dan penyebutan gratifikasi secara spesifik dikenal sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan pada KPK setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka terdapat resiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun pidana.
Ada dua sisi yang seimbang pada ketentuan tentang gratifikasi. Di satu sisi, Pasal 12B UU Tipikor mengatur ancaman pidana yang berat, namun di sisi lain Pasal 12C UU Tipikor justru memberikan ruang bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara untuk lepas dari jerat hokum dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut melaporkan penerimaan pada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima. Oleh karena itu, jika dilihat dari aspek strategi pemberantasan korupsi, ketentuan tentang gratifikasi sesungguhnya berada pada dua ranah sekaligus, yang tidak hanya dari aspek penindakan, akan tetapi memiliki dimensi pencegahan yang kuat.
Dari aspek pencegahan ditekankan pada beberapa hal, yaitu:
1.   Pengendalian lingkungan yang berintegritas di kementerian, institusi Negara dan sektor swasta melalui pelaporan gratifikasi dan pencegahan korupsi;
2.   Mencegah adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas pelayanan publik atau tugas lainnya dari pegawai negeri dan penyelenggara Negara;
3.   Membangun budaya transparansi, akuntabilitas dan integrtitas;
4.   Perlindungan hukum terhadap pelapor; dan,
5.   Pemetaan area rawan gratifikasi untuk kepentingan pencegahan korupsi.
Akan tetapi, dalam praktek, seringkali ditemukan upaya pembenaran terhadap penerimaan gratifikasi. Berkembangnya adagium “tidak boleh menolak rejeki” semakin memperkuat kebiasaan tersebut hingga nyaris menjadi perilaku keseharian, termasuk dalam pelayanan publik di masyarakat. Sehingga dikenal berbagai istilah seperti “uang terimakasih”, “uang lelah”, “biaya kopi” atau istilah lain yang mirip. Pembenaran menggunakan alasan kebiasaan, adat istiadat, dan bahkan perayaan agama juga tidak jarang mengemuka. Mengacu pada data Global Corruption Barometer (GCB) Tahun 2013 yang dirilis
Transparency International, untuk mendapatkan pelayanan publik 71% responden mengatakan mengeluarkan “uang pelicin” agar dapat mengakses pelayanan publik. Empat latar belakang utama pembayaran uang pelicin tersebut adalah: satu-satunya cara mendapatkan pelayanan (11%); mempercepat pengurusan (71%); mendapatkan pelayanan lebih murah (6%); sebagai hadiah atau ucapan terima kasih (13%).
Dari sudut pandang pelaku usaha atau pihak swasta, ragam sebutan gratifikasi tersebut sesungguhnya dilihat sebagai biaya tambahan, yang memicu fenomena ekonomi biaya tinggi. Hal ini terjadi hampir di semua ruang gerak pelaku swasta yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi institusi pemerintah. Biaya tambahan seperti ini tentu saja berimplikasi pada harga sebuah produk hingga sampai di tangan konsumen. Dengan kata lain, masyarakatlah sebagai konsumen akhir yang menanggung “biaya gelap”.
Terdapat juga keragaman pemahaman tentang gratifikasi. Ada yang memahami gratifikasi identik dengan sesuatu yang selalu salah, amoral dan bahkan menyamakan gratifikasi dengan suap. Padahal mengacu pada Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor, kata gratifikasi sesungguhnya bermakna netral, yaitu: pemberian dalam arti luas yang dapat berbentuk uang, barang atau fasilitas lainnya. Gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima. Gratifikasi itulah yang disebut pada Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor sebagai “gratifikasi yang dianggap pemberian suap”.
Pedoman Pengendalian Gratifikasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang gratifikasi, menguraikan proses pelaporan, aspek pencegahan dan penindakan, serta pengenalan Sistem Pengendalian Gratifikasi. Sehingga, keberadaan Pedoman ini diharapkan dapat membantu kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk menyusun aturan internal dan menerapkan sistem pengendalian gratifikasi, termasuk diantaranya menyusun regulasi internal dan membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG).
Bagi institusi pejabat publik dan sektor swasta, juga dimungkinkan membentuk unit khusus untuk menjelankan fungsi pengendalian gratifikasi. Perkembangan pengaturan subjek hukum dalam tindak pidana korupsi dengan ruang lingkup yang lebih luas, yaitu Pejabat Publik (public official) menunjukkan pentingnya tindakan awal pencegahan korupsi dan pengendalian gratifikasi di institusi pejabat publik. Demikian juga sektor swasta. Posisi pelaku usaha yang potensial sebagai pihak pemberi gratifikasi dan kewajiban menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance(GCG) yang telah mulai diterapkan di sejumlah korporasi besar menunjukkan urgensi pengaturan pengendalian gratifikasi di sektor swasta tersebut.
Oleh karena itu, KPK menerbitkan Pedoman Pengendalian Gratifikasi yang secara umum
berisikan:

  • Prinsip-prinsip Pengendalian Gratifikasi;
  • Pengaturan gratifikasi dalam perspektif pemberantasan korupsi;
  • Penolakan dan pelaporan gratifikasi;
  • Uraian gratifikasi yang wajib dilaporkan, tidak wajib dilaporkan dan terkait kedinasan;
  • Batasan nilai wajar dan persinggungan ketentuan gratifikasi dengan kegiatan keagamaan, budaya, adat/istiadat, kebiasaan dan kondisi khusus seperti musibah/bencana alam;
  • Mekanisme pelaporan gratifikasi pada KPK atau melalui UPG;
  • Pengendalian gratifikasi pada institusi pejabat public;
  • Peran serta masyarakat dan swasta; dan,
  • Perlindungan terhadap pelapor.



Jakarta,  Juni 2015

Pimpinan KPK


Tidak ada komentar:

Posting Komentar